Total Tayangan Halaman

Rabu, 22 Februari 2012

Fotojurnalisme dan Kemanusiaan



[Tulisan ini merupakan karya Tim People's Empowerment Consortium (PEC), Garda Sembiring dan Zico Mulia. Revisi terakhir dilakukan pada Februari 2012.]

 Latar Belakang

Unit dasar foto jurnalistik adalah sebuah gambar dengan kata-kata, demikian Wilson Hicks menegaskan dalam karyanya di tahun 1952. Hicks adalah editor foto pertama pada LIFE, semenjak majalah berita bergambar ini didirikan Henry R. Luce pada tahun 1936. Antara lain berkat peran sentral Hicks lah, majalah bergambar LIFE dapat menghimpun dan mendayagunakan jajaran fotografer terkondang dalam sejarah jurnalisme. Tidak kurang dari Margaret Bourke-White, W.Eugene Smith, Alfred Eisenstaedt, Gordon Parks dan masih banyak lainnya dipandu oleh tangan dinginnya. Bahkan di masa pensiunnya Hicks masih sempat membina Flip Schulke muda, yang belakangan amat dikenal dengan dokumentasinya atas civil rights movements di Amerika Serikat (1955-1968). Bahkan Jejak-jejak pengaruh Hicks masih terasa sampai hari ini. Tidak berlebihanlah kiranya, jika ia dijadikan rujukan tentang fotojurnalisme. 

Bukti Otentik atas Peristiwa

Lantas, di mana pula persisnya kelebihan gambar dan kata-kata, mengapa dianggap sedemikian penting dalam penyajian berita? Sebelum teknologi fotografi dikenal luas dan diadopsi oleh perusahaan media, berita-berita ditayangkan dengan tambahan ilustrasi (oleh pelukis ilustrasi) dengan gambaran se-natural dan serealistis mungkin. Betapa pun, khalayak pembaca maklum bahwa ilustrasi itu semata-mata karya  artis dengan segala tafsir dan subyektivitasnya.

Sejarah mencatat bahwa semenjak awal kiprahnya, fotojurnalisme sudah memberikan kontribusi berupa penyampaian warta atau informasi terbuka kepada dunia atas berbagai riuh-rendah peristiwa kemanusiaan. Sedini tahun 1847, sejumlah juru foto amatir maupun profesional yang tidak tercatat namanya, telah menyumbangkan dokumentasi pertama atas perang Meksiko melawan Amerika Serikat yang merentang sampai tahun 1848. Kalau begitu dalam kurun kurang dari satu dekade semenjak kamera daguerreotype dipatenkan, dikomersialkan dan dapat diakses oleh masyarakat luas di tahun 1839, pada hakikatnya fotojurnalisme sudah mulai meniti kiprah dan kontribusinya.

Berbagai peristiwa konflik dan kekerasan juga tidak luput dari rekaman kamera. Kancah perang antara Rusia melawan aliansi Inggris, Prancis dan Turki Ottoman yang dikenal sebagai Perang Krim atau Crimean War (1853-1856) diabadikan Roger Fenton (1819-1869), seorang fotografer asal Inggris. Fenton dikirim dalam rangka menyajikan bukti visual terkait laporan William Howard Russell (1820-1907), seorang koresponden The Times of London yang memberitakan kondisi menyedihkan yang dihadapi oleh tentara-tentara Inggris dan tentara aliansi di garis depan, baik secara manajeman militer maupun dari segi sanitasi. Bukti tak terbantahkan yang diajukan Fenton menjadi basis bagi pembangunan rel kereta api dan pasokan bantuan bagi pihak aliansi. Terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapinyatermasuk penyakit kolera serta tulang iganya yang patah, maupun berbagai kesulitan teknis untuk mendokumentasikan foto di tengah gempuran perangFenton mempersembahkan tidak kurang dari 360 karya fotografi. Ini tercatat sebagai dokumentasi berskala besar pertama atas sebuah perang. Pemberontakan di India (1857-1858) serta Perang Candu II di China (1858-1860) juga tidak luput dari pengabadian. Sekelompok juru foto yang dipimpin oleh Mathew B. Brady menghimpun dokumentasi berskala besar atas Perang Saudara di Amerika (1861-1865). Brady dianggap berjasa dalam merintis subyek fotografi perang (war photography). Mereka merekam para perwira dan prajurit dalam pose portraiture, mereka juga mengabadikan gambar panorama alam serta kamp-kamp pertahanannya, pengaturan jalur pasokan logistik, merekam kehancuran gedung dan lansekap, maupun materi propaganda yang dipergunakan oleh pihak-pihak yang tengah berseteru. 

Jenderal John E. Wool bersama pasukannya setelah perebutan kota Saltillo dalam perang Meksiko-Amerika 1846-1848 (medium pelat-gelas daguerrotype, tanpa nama, 1847)
 
Seorang pria duduk di dekat konstruksi lintasan kereta api dekat pelabuhan Balaklava, Crimea, yang merupakan basis pertahanan Inggris beserta aliansinya dalam Crimean War (Roger Fenton, 1855)


Para Social Reformers dan Pengabadi Peristiwa Kemanusiaan

Memasuki pergantian abad XX dunia fotojurnalisme diperkenalkan dengan kehadiran individu-individu berintegritas tinggi yang dikenal sebagai social reformers. Jacob Riis (1849-1914) seorang Amerika asal Denmark. Melalui publikasi buku karya fotojurnalismenya How the Other Half Lives (1890), Riis memperkenalkan wajah dan kehidupan sehari-hari warga di pemukiman-pemukiman kumuh yang terserak di tengah-tengah kota New York. Karya Riis menggugah banyak pihakbaik kalangan swasta maupun pemerintahuntuk menyusun model pemukiman warga yang lebih baik dan manusiawi. Beberapa predikat sekaligus disempatkan atas dirinya selaku social reformer dan perintis fotografi social documentary.

Jejak-langkah yang lebih-kurang sama dipersembahkan oleh Lewis Hine (1874-1940). Semenjak awal karirnya sebagai fotografer amatir selama menjadi guru di Ethical Culture School, Hine sudah memiliki kepedulian besar atas masalah-masalah sosial. Kepedulian sosial ini mengkerucut atas praktik-praktik buruh anak di Amerika Serikat. Tidak kecil tantangan yang dihadapi Hine karena pihak pengawas pabrik (foreman) pada umumnya bukan saja menghalang-halangi, mereka juga melakukan ancaman dan intimidasi atas upaya untuk mengangkat masalah buruh anak, yang memang amat menguntungkan pihak majikan. Tercatat bahwa dalam kurun 12 bulan Hine pernah menempuh perjalanan 12.000 mil hanya untuk mendokumentasikan masalah buruh anak. Kerja kerasnya mulai memperlihatkan hasil, sejak tahun 1908 ia direkrut oleh National Child Labour Committee selama 8 tahun. Beberapa karyanya "Child Labor: Girls in Factory" (1908), "Breaker Boys" (1910) berkontribusi signifikan pada reformasi kebijakan buruh anak di tingkat nasional. Pada tahun 1916 akhirnya Kongres Amerika Serikat melegalisasi Undang-Undang baru yang melarang buruh anak.

Kondisi masyarakat khususnya keluarga-keluarga kulit putih, khususnya petani penggarap kapas di selatan Amerika Serikat semasa era Great Depression 1930-an juga diangkat oleh generasi fotojurnalis berikutnya. Warga tani penggarap yang sudah menghadapi kondisi perekonomian yang begitu sulit, masih harus bertahan diterpa 'dust bowl' (badai debu yang merusak lahan perkebunan di Amerika di tahun 1930-1936). Kondisi-kondisi ini diabadikan dengan amat menyengat oleh duet fotografer Walker Evans dan esais James Agee dalam Let Us Now Praise Famous Men, yang publikasinya tertunda sampai tahun 1941. Secara terpisah Dorothea Lange juga mengabadikan periode tersebut melalui esai foto sohornyaMigrant Mother, 1936.

Memasuki medio abad XX, tampillah beberapa figur seperti Robert Capa (1913-1954) seorang fotojurnalis asal Hungaria. Ia meliput berbagai kancah konflik dan perang: Perang Saudara di Spanyol (1936-1939), Perang Sino-Jepang II (1937-1945), Perang Dunia II (1939-1945, Perang Arab-Israel (1948), serta Perang Prancis-Indocina I (1946-1954). Dari sekian banyak karyanya tercatatLoyalist Militiaman at the Moment of Death, 1936, yang amat kontroversial; serta esai fotoSlightly out of focustentang pendaratan heroik pasukan sekutu pada D-day 4 Juni 1944 di pantai Omaha, Normandia, Prancis. Pada front lain selama Perang Dunia II, warta pertama pembebasan kamp Konsentrasi Nazi Buchenwald oleh pihak Sekutu dikukuhkan oleh karya Margaret Bourke-White dengan persembahan esai fotonyaBuchenwald: Horror and Liberation, April 1945, bagi para pembaca majalah LIFE dan dunia.

Fotojurnalisme dan Kemanusiaan

Sampai kini para fotojurnalis internasional yang dikenal mendunia, sebutlah seperti Gilles Peress, Sebastio Salgado, James Nacthwey dan lain-lainnya terus berkarya selaku fotojurnalis sekaligus berkontribusi dalam lapangan kemanusiaan.  


Fotojurnalisme di Indonesia: Dulu dan Kini

Sungguh tidak kecil kontribusi dari Frans dan Alex Mendur bersaudara dalam mendokumentasikan berbagai peristiwa bersejarah bangsa ini. Semenjak detik-detik bersejarah proklamasi kemerdekaan, sampai rekaman atas berbagai gejolak dan pergolakan yang menerpa republik yang masih begitu muda ini, tidak sedikit andil IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) di dalam pendokumentasiannya.



























Sebagian pendiri IPPHOS di depan gedung Fermont Cuypers. Alexius Impurung Mendur (depan kiri) dan Alexander Mamusung (depan kanan). Jakarta, Oktober 1946.

Perkembangan awal yang cukup menggembirakan ini terinterupsi oleh prahara bangsa di tahun 1965. Menurut catatan Soerjoatmodjo, pasca Gerakan Tiga Puluh September 1965 kantor berita Antara dilikuidasi dan arsip-arsip fotonya dibumihanguskan. Kantor berita ini tidak lagi memiliki biro foto sampai awal tahun 1980-an. Walaupun IPPHOS tidak mengalami pukulan sebagaimana halnya Antara, namun manajemen berbasiskan usaha keluarga membelit IPPHOS sehingga tidak lagi dapat berjalan lancar seperti dulu. Absennya format fotografi yang memadai ini tidak kunjung terobati sampai tahun 1992. Di tahun ini Institut Kesenian Jakarta membuka Departemen Fotografi. Masih di tahun yang sama, kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) di bilangan Passer Baroe, galeri pertama yang mengkhususkan diri pada foto jurnalistik. Di tahun 1994 Institut Seni Indonesia di Yogyakarta juga membuka Departemen Fotografi.

Tiga belas tahun sudah berlalu semenjak lengsernya Soeharto. Begitu banyak peristiwa kemanusiaan silih-berganti terjadi. Beberapa di antaranya sempat direkam dan didokumentasikan dengan cukup baik, beberapa di antaranya sungguhpun sempat direkam, namun urung memasuki ruang publik karena berbagai alasan. Terlepas dari segala pertimbangan teknis ataupun pertimbangan-pertimbangan lain yang menyertainya, namun kerap kali pihak redaksi media massa urung menayangkan dokumentasi atas peristiwa penting tersebut; sebagai akibatnyadalam banyak kasuskerap kali publik pun urung mengetahuinya, betapa pentingnya pun peristiwa tersebut. Peristiwa-peristiwa itu berlalu dan tidak diketahui publik; seakan-akan mereka tidak pernah sungguh-sungguh terjadi. Persis di tengah-tengah kancah pergolakan reformasi 1998 itulah, Pewarta Foto Indonesia (PFI) lahir untuk membentengi para jurnalis foto dalam menjalankan tugas profesionalnya. Arbain Rambey, fotojurnalis dari harian Kompas, selaku ketua PFI pertama mengenang momen tersebut lahir pada awalnya, sebagai jawaban atas pemukulan rekan jurnalis foto oleh pihak aparat militer. Kini tiga belas tahun sudah berselang semenjak reformasi yang membidani kelahiran PFI. Apa sajakah yang telah dihimpun dan dicapai oleh para pewarta foto di Indonesia dewasa ini? Apa sajakah tantangan bagi dunia fotojurnalisme di Indonesia? Tanggapan atas pertanyaan menarik ini kiranya akan coba ditanggapi dengan  menggelar ajang yang tengah kami gagas ini.

Dokumentasi dalam bentuk foto yang diambil oleh para jurnalis, tidak dipublikasikan oleh media massa. Sebenarnya dokumentasi foto tersebut akan memiliki makna lebih untuk pengetahuan publik disamping dari segi nilai estetis maupun nilai sejarah dari momen yang terekam dalam kamera. Sebagai contoh ada cukup banyak peristiwa penting yang terekam oleh para jurnalis Pewarta Foto Indonesia (PFI) selama lebih dari satu dekade terakhir yang tidak dipublikasikan. Rekaman-rekaman fotografis yang  berharga tersebut bisa jadi tinggal sebagai tumpukan koleksi pribadi, sekiranya tidak ada inisiatif memadai untuk mempublikasikannya.

Atas dasar pertimbangan di muka, PEC menggagas untuk menggelar kegiatan pameran foto dalam sebuah rangkaian acara pentas budaya dan pembelajaran publik selama 1 minggu di salah-satu taman kota Jakarta. Realisasi ide tersebut perlu melibatkan PFI, Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) serta bekerja sama dengan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Melalui rangkaian kegiatan ini diharapkan masyarakat umum, khususnya generasi muda mendapatkan informasi tentang berbagai peristiwa kemanusiaan yang terjadi dalam kurun 13 tahun terakhir ini. Selain itu kami juga menyediakan berbagai anjungan yang menggelar sesi diskusi dan workshop. Diskusi seputar konteks peristiwa-peristiwa yang didokumentasikan (menyertakan fotografer yang bersangkutan serta narasumber terkait), direncanakan pula workshop tentang fotografi (fotografi untuk pemula, pengantar tentang fotojurnalisme, fotografi dan HAM, dll). Selain itu ada pula panggung budaya yang menampilkan seniman-seniman kerakyatan. Rangkaian mata acara yang disusun merentang sampai hari Sabtu dan Minggu, memungkinkan ajang ini sekaligus menjadi acara keluarga yang melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Untuk itu perlu disediakan pula anjungan game (permainan) dan pohon harapan.




Referensi

History of Photography. Britannica Online Encyclopedia. Kontributor utama: Helmut Erich Robert Gernsheim, Beaumont Newhall dan Naomi Rosenblum. Diakses dari URL <http://www.britannica.com/EBchecked/topic/457919/photography-history-of/>

Ieke Oud.  "LIFE and the Photo Essay: Challenging the Role of Pictures in the American Press". Tesis Magister pada Rijksuniversiteit Groningen 22 Februari 2010

[WDW]Megaraptor. "The Very First Military PhotosMexican-American War 1846-1848". Sebagaimana diakses dari URL

Michael Irisdianto. "Akhirnya, Kedua Pejuang Bersenjata Kamera Itu Mendapatkan Penghargaan Dari Pemerintah Indonesia", Jumat, 25 December 2009.

Yudhi Soerjoatmodjo.The Challenge of Space : Photography in Indonesia, 1841-1999.  Sebagaimana diakses dari URL <http://www.angelfire.com/id/mosista/article1.html>